Beranda | Artikel
Muadzin Menyambung Bacaan Imam
Rabu, 16 Mei 2018

Muadzin Menyambung Bacaan Imam

Apa hukum menyambung bacaan takbir imam dengan keras, seperti yang terjadi di masjidil haram dan masjid nabawi? Trim’s…

Jawab:

Bismillah was shalatu was salamu ‘ala Rasulillah, wa ba’du,

Mengeraskan bacaan imam yang dilakukan salah satu makmum agar bisa didengar yang lain, disebut tabligh. Orang yang mengeraskan bacaan imam disebut al-Muballigh.

Masalah tabligh imam, bukan termasuk hal yang baru dan tidak hanya terbatas untuk kejadian di masjid masjidil haram maupun masjid nabawi. bahkan ini sudah sering dilakukan oleh masyarakat di masa silam, karena mereka butuh hal ini.

Hukum Tabligh Imam

Ada 2 pertimbangan ketika kita hendak menyimpulkan hukum tabligh,

[1] Pertimbangan tingkat kabutuhan (al-Hajah)

Dengan memperhatikan sampai dan tidaknya jangkauan suara imam kepada makmum.

[2] Pertimbangan tujuan muballigh

Di sini kita fokus pada pertimbangan tingkat kabutuhan dilakukannya tabligh terhadap suara imam.

Pertimbangan tingkat kebutuhan dengan melihat jangkauan suara imam sampai ke makmum

Para ulama sepakat, dianjurkan bagi imam untuk mengerasakan bacaan takbir, tasmi’ (ucapan sami’allahu liman hamidah), dan salam, agar bisa didengar makmum. (al-Fiqh al-Islami wa Adillatuh, 2/914)

Sementara, menurut Hanafiyah jika kerasnya imam melebihi kebutuhan, terhitung berlebihan dan tidak baik, namun tidak sampai makruh. (Rad al-Muhtar, 1/296)

An-Nawawi mengatakan,

يستحب للإمام أن يجهر بتكبيرة الإحرام، وبتكبيرات الانتقالات؛ ليسمع المأمومين؛ فيعلموا صلاته

Dianjurkan bagi imam untuk mengeraskan bacaan takbiratul ihram dan takbir intiqal, agar bisa didengar para makmum, sehingga mereka bisa mengetahui shalatnya imam.

Kemudian beliau melanjutkan,

فإن كان ضعيف الصوت لمرض وغيره فالسنة أن يجهر المؤذن أو غيره من المأمومين جهرا يسمع الناس وهذا لا خلاف فيه

Jika suara imam lemah karena sakit atau yang lainnya, maka yang sesuai sunah hendaknya muadzin atau makmum lainnya mengeraskan suar imam, sehingga bisa didengar jamaah. Dan tidak ada perbedaan dalam hal ini.

(al-Majmu’ Syarh al-Muhadzab, 3/398).

Kemudian an-Nawawi menyebutkan beberapa dalil, diantaranya hadis dari Jabir bin Abdillah Radhiyallahu ‘anhuma,

اشْتَكَى النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَصَلَّيْنَا وَرَاءَهُ، وَهُوَ قَاعِدٌ وَأَبُوبَكْرٍ يُكَبِّرُ لِيُسْمِعَ النَّاسَ تَكْبِيرَهُ

“Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah sakit, lalu kami shalat di belakang beliau, sedangkan beliau dalam posisi duduk. Sementara Abu Bakr mengeraskan takbir beliau agar takbir beliau bisa didengar jamaah. (HR. Muslim 413, Abu Daud 606 dan yang lainnya).

Dalam riwayat lain, dari Aisyah Radhiyallahu ‘anha,

فَأُتِيَ بِرَسُولِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى أُجْلِسَ إِلَى جَنْبِهِ وَكَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي بِالنَّاسِ وَأَبُو بَكْرٍ يُسْمِعُهُمُ التَّكْبِيرَ

“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam datang dipapah, lalu didudukkan di samping Abu Bakr. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengimami jama’ah, sementara Abu Bakr mengeraskan takbir beliau, sehingga didengar mereka (jamaah).” (HR. Muslim 418).

Riwayat di atas menunjukkan anjuran bagi salah satu makmum untuk mengeraskan takbir imam, ketika itu dibutuhkan. Namun jika ini tidak dibutuhkan, mengeraskan takbir dalam hal ini termasuk bid’ah. Karena selain imam, baik makmum maupun yang shalat sendirian, disyariatkan untuk memelankan semua takbir dan tidak dikeraskan. Maksimal jika dikeraskan, cukup didengar diri sendiri. (al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 3/295)

Syaikhul Islam menjelaskan,

ولا ريب أن التبليغ لغير حاجة بدعة، ومن اعتقده قربة مطلقة فلا ريب أنه إما جاهل، وإما معاند. وإلا فجميع العلماء من الطوائف قد ذكروا ذلك فى كتبهم حتى فى المختصرات، قالوا ولا يجهر بشىء من التكبير إلا أن يكون إماما

Kita sangat yakin bahwa tabligh imam tanpa ada kebutuhan termasuk bid’ah. Bahkan siapa yang meyakini tabligh termasuk ibadah khusus, kita yakin hanya ada dua kemungkinan, orang bodoh atau orang yang menentang kebenaran.

Karena semua ulama dari berbagai madzhab, mereka telah menyebutkan dalam kitab-kitab mereka termasuk kitab mukhtashar (fikih ringkas). Mereka mengatakan, tidak ada yang mengeraskan bacaan takbir apapun kecuali jika menjadi imam.

Beliau melanjutkan,

ومن أصر على اعتقاد كونه قربة فإنه يعزَّر على ذلك لمخالفته الإجماع. هذا أقل أحواله، -والله أعلم

Siapa yang tetap bertahan dengan keyakinannya bahwa tabligh imam adalah ibadah khusus, maka dia berhak dihukum ta’zir, karena menyalahi ijma’. Ini kondisi minimalnya. Allahu a’lam. (Majmu’ al-Fatawa, 23/402)

Bagaimana dengan Tabligh di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi?

Saya tidak perlu menegaskan bahwa para ulama Saudi memahami penjelasan yang disampaikan an-Nawawi atau Ibnu Taimiyah dalam masalah ini. Namun kita akan melihat kondisi riil yang ada di kedua masjid itu. Imam telah menggunakan pengeras suara, mengapa masih harus ada tabligh yang dilakukan muadzin?

Jika anda berada di sudut-sudut tempat sa’i atau di tempat tertentu, terkadang suara imam tidak terdengar jelas. Terutama ketika imam bergerak turun sujud atau atau bangkit ke rakaat berikutnya. Sementara banyak diantara mereka yang tertutup tembok, sehingga tidak melihat makmum depannya. Kondisi ini pernah kami alami sendiri ketika mengikuti shalat jamaah di mas’a (tempat sa’i). Sehingga, tabligh di masjidil haram dan masjid nabawi, sangat dibuhkan.

Bisakah ini diterapkan di masjid yang lain?

Sekali lagi, ini kembali kepada kebutuhan.

Demikian, Allahu a’lam.

Dijawab oleh Ustadz Ammi Nur Baits (Dewan Pembina Konsultasisyariah.com)


Artikel asli: https://konsultasisyariah.com/31756-muadzin-menyambung-bacaan-imam.html